Rabu, 28 November 2012

Goretan 28 February


Bram tergesa berjalan di pinggiran pantai Ancol. Dia hampir saja lupa, sore ini ada janji dengan Dini untuk bertemu. Sudah hampir seminggu terakhir, ia tak bertemu wanita yang telah mengisi separuh hatinya.“Gawat ini, telat aku, “kata Bram sambil berlari lari-lari kecil. Tas punggungnya menari-nari mengikuti irama kakinya.

Bram menarik nafas lega ketika melihat sosok wanita duduk disebuah batu besar dibawah pohon. Ditempat inilah biasanya ia dan Dini membuat janji untuk bertemu. Suasana sore ditepi pantai adalah tempat paling favorit bagi Dini. Ia merasa damai saat melihat sunset. Bram melihat perempuan berkerudung itu tengah melamun. Hatinya tengah berkecamuk. Dalam benaknya, ia harus mengambil keputusan tentang hubungannya dengan Bram meski itu mengingkari hati nuraninya.

“Sory Din, aku telat. Kau sudah lama sampai, “kata Bram sambil duduk disamping Dini memulai percakapan.

Dini tak membalas pertanyaan itu. Ia berpaling. Ditatapnya mata Bram dengan tajam. Dini mencari sesuatu didalam keteduhan mata Bram. Dini tak kuat menahan buliran airmatanya. Ia terisak. “Aku harus putuskan ini sebelum berlarut. Aku telah menyakiti sesorang!“Tekad hati Dini.

“Din mengapa kau menangis. Maafkan aku! Aku tak sengaja terlambat, “ucap Bram merasa bersalah.

Dini menggeleng. “Kamu ga salah. Aku yang salah dalam hal ini, “kata-kata Dini semakin tak dimengerti oleh Bram.

Dini semakin terisak. Bram memeluk Dini. Disandarkan kepala Dini kedadanya yang bidang.

“Ada apa Din, apa yang membuatmu bersedih, “dengan lembut ia membelai Dini.

Dini semakin terisak. Bibirnya belum bisa berucap.

“Menangislah dulu, mungkin akan membuatmu lebih tenang, “hibur Bram.

“Aku sangat mencintaimu Bram!kata Dini pelan. “Sejak kita bertemu, aku merasa damai disampingmu.

“Kau sanggup menghidupkan hatiku yang hampa, “Dini terus berkata. Ia semakin memperat pelukannya. “Izin aku memelukmu Bram, “ucap Dini lagi.

Lama Dini memeluk lelaki ini seakan enggan dilepaskan. Ingin rasanya ia menikmati ini lebih lama lagi.

Bram membiarkan Dini tenggelam dalam pelukannya. Ia hanya merasa ada sesuau yang membuat Dini bersedih.

“Bram ada sesuatu hal yang harus kita bicarakan, “kata Dini setelah hatinya lebih tenang.

“Ceritakanlah Din, aku siap mendengarnya, “balas Bram.

“Bram! Kau tau, aku sudah menceritakan semua sebelum kita memulai hubungan ini. Kau pun tau, aku bercerai dengan suamiku karena aku ditinggalkan nikah lagi olehnya. Aku sadar dengan hubungan kita ini. Aku juga tau sakitnya hati wanita dikhianati, “Dini tertunduk. Dia menyadari kesalahannya terhadap wanita yang selama ini mengabdikan hidupnya untuk Bram.

“Jujur Bram, aku sangat mencintaimu. Tapi hubungan ini harus kita akhiri. Bahagiakan istrimu!”kata-kata Dini membuat Bram terhenyak.

“Din, apa aku salah. Aku tak pernah berniat menghianati istriku. Cintaku tumbuh dengan sendirinya. Aku mohon Din jangan tinggalkan aku, “kata Bram memelas.

“Tidak Bram. Aku perempuan, aku sangat paham apa yang dirasakan hati perempuan saat mengetahui suaminya berbagi hati, “buliran air mta Dini kembali membasahi pipinya.

“Bram! Keputusan ku sudah bulat. Kita akhiri hubungan ini. Aku juga sangat mencintaimu Bram. Tapi ada yang lebih berhak atas cintamu. Meski kita tak bisa saling memiliki, kau adalah bagian hidupku, “ucap Dini sambil berlinang air mata.

“Aku tau niatmu tulus ingin membahagiakan aku dan Putri anakku, “katanya lagi.

“Aku pergi Bram! Bahagiakan istrimu! Itu sama dengan kau membahagian aku, “kata Dini sambil melangkahkan kakinya pergi meninggalkan luka.

“Din, “panggil Bram. Langkah Dini terhenti.

“Jika itu keputusanmu, izinkan aku memelukmu untuk terakhir kali.

Dini berlari menghampiri Bram. Ia kembali menangis. Keduanya hanyut dalam haru pelukan.

****

Selepas Dini pergi, Bram belum ingin meninggalkan pantai ini. Ia ingin lebih lama menikmati kenangan saat indah mengisi hari bersama Dini.

“Tuhan! Kalau memang ini salah, mengapa Kau berikan rasa cinta ini. Apa aku berdosa ingin membahagiakan mereka?jerit Bram sambil terus melemparkan batu ke tengah lautan.

Pemuda ini terus berteriak, ia tak lagi memperdulikan orang-orang yang memperhatikan tingkahnya. Bram terduduk lesu di pasiran pantai. Terpaan sinar matahari sore diwajahnya, melihatkan raut kesedihan diwajahnya. Pemuda ini terdiam, ia hanya menggoretkan dua nama dipasir dengan jarinya. “Dini- Putri”.

Pemuda ini tak pergi meski temaram senja sudah di ufuk. Pantulan cahaya bulan perlahan menyibak malam. “Aku tak menginginkan semua ini terjadi. Perasaan cinta ku tulus dan tumbuh dengan sendirinya. Engkau pun tahu ya Allah aku sangat mencintainya, “Bram masih meratap berulang.

Hatinya masih sakit. Ia masih tak dapat menerima keputusan Dini untuk menyudahi hubungan cinta yang terjalin dengannya. Bram terpejam. Dibiarkan air laut menari membasahi sukujur kakinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar